Loyalitas Ganda Kepala Daerah
Loyalitas Ganda Kepala Daerah
Oleh: Moch. Mubarok Muharam
Prabowo Subianto melakukan terobosan dalam masa kepemimpinan sebagai presiden, yang belum berumur seratus lima puluh (150) hari. Dalam waktu pendek, presiden dari Partai Gerindra tersebut memberikan pembekalan terhadap para menteri di Hambalang, tidak lama setelah mendapat kepercayaan sebagai pembantu presiden. Kegiatan yang disebut “Retreat” itu, diberlakukan sama terhadap para kepala daerah, yang beberapa hari lalu telah dilantik.
Retreat menjadi pengalaman baru bagi peserta, karena mendapatkan wawasan tentang tata kelolah pemerintah, khususnya terkait dengan masalah administrasi dan keuangan. Selain itu, melalui penggunanan simbol dan metode kemiliteran, peserta diberi kesadaran tentang loyalitas terhadap pemimpin. Retreat menjadi sarana melakukan afirmasi terhadap peserta untuk melakukan dukungan terhadap visi dan misi dari presiden. Melalui kegiatan tersebut, para menteri, ditempa secara dini untuk membuat kebijakan yang selaras dengan mimpi-mimpi besar dari presiden tentang Indonesia, seperti, keunggulan sumber daya manusia (sdm), kemandirian pangan dan energi.
Retreat terhadap para menteri kurang mendapatkan tanggapan negatif dari dari berbagai pihak, karena hal tersebut dinilai merupakan sebuah kewajaran dilakukan oleh pemimpin terhadap bawahan. Hingga saat ini, tidak terdapat kecaman terhadap kegiatan tersebut, walaupun setelah retret, terdapat pejabat pemerintah yang melakukan “blunder”, sebagai contoh, kebijakan salah satu menteri tentang pembelian elpiji 3 kg di pangkalan resmi Pertamina, hal tersebut mengecewakan, karena warga tidak bisa membeli ditempat terdekat (pengecer) atau pernyataan wakil menteri (wamen) yang menyuruh warga yang bekerja di luar negeri tidak perlu kembali ke Indonesia. Wamen tersebut tidak sepatutnya mengecam pendukung hastag #kabur dulu aja, dan menyatakan bahwa warga yang ingin bekerja di luar negeri adalah tidak mempunyai jiwa nasionalis. Kebijakan dan pernyataan tersebut, tentu tidak sesuai dengan tujuan dari diadakannya retreat.
Berbeda dengan pembekalan terhadap para menteri yang relatif tidak mendapatkan kecaman, retreat terhadap kepala daerah mendapat kritik dan tantangan. Berbagai pihak melakukan kritik, karena beberapa hal, pertama, retreat dilakukan ditengah-tengah adanya gerakan unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa di kota-kota besar serta adanya beberapa hastaq seperti # Indonesia gelap, #Kami bersama Sukatani, #Kabur dulu aja dan #Adili Jokowi. Unjuk rasa dan hastag tersebut merupakan kekecewaan terhadap persoalan yang ada, termasuk kecurigaan sebagian pihak terhadap pengaruh Joko Widodo dalam pemerintahan yang dipimpin Prabowo. Alih-alih melakukan respon secara cepat dan tepat, Prabowo dinilai lebih mementingkan untuk “melakukan konsolidasi politik” terhadap gubernur, bupati dan walikota di Hambalang. Kedua, retreat dinilai tidak mempunyai urgensi untuk diadakan, karena kepala daerah bukan pembantu presiden. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa kepala daerah dipilih oleh rakyat, tidak ditunjuk oleh presiden, sehingga tidak perlu kegiatan “penyeragaman” yang bersifat khusus. Upaya doktrinasi yang yang terlalu ketat,dikuatirkan melemhakan kemampuan kepala daerah membuat inovasi atau pembaharuan.
Selain mendapat berbagai kritik, terdapat tantangan lain yang tidak kalah penting yaitu adanya loyalitas ganda kepala daerah. Retreat mendapat tantangan dengan adanya potensi ketidakhadiran kepala daerah, karena larangan dari parpol tertentu. Walaupun pada akhirnya, hampir sebagian besar mengikuti pembekalan tersebut, tetapi beberapa kepala daerah diliputi oleh keraguan dan ketidaknyamanan mengikuti kegiatan, karena mengalami ketakutan untuk berbeda dengan instruksi parpol. Dalam konteks tersebut, terjadi loyalitas ganda dari beberapa kepala daerah, pada satu sisi, sebagai orang nomor satu di daerah berusaha menjalin harmonisasi dengan pemerintahan pusat, tapi pada sisi lain, sebagai kader, harus mengikuti perintah parpol. Apabila kedua relasi tersebut tidak dapat dipertemukan, yaitu menempatkan diri sebagai unsur dari pemerintahan di daerah dan secara bersamaan menjadi bagian dari keluarga besar parpol, posisi dan peran kepala daerah menjadi dilematis.
Relasi kuasa dengan pemerintah pusat dan seiring dengan itu, hubungan politiknya dengan parpol , harus dilakukan secara bijak dan tanpa mengorbankan kepentingan rakyat. Steven & Ziblatt dalam tulisannya berjudul “How Democracies Die” (2018), menyatakan bahwa essensi dari adanya pemilihan daerah langsung adalah terjalinnya kedekatan (proximity) pemimpin dan warganya . Karena itu, adanya dinamikia politik yang terjadi, yang melibatkan pemerintah pusat dan parpol (pengusung), tidak menjadi penghalang bagi kepala daerah untuk menghasilkan kebijakan yang berdekatan dengan kepentingan rakyat. Ada atau tidaknya retreat, bergabung atau tidak dalam acara pembekalan tersebut, tugas utama kepala daerah adalah melakukan tindakan-tindakan yang memberi keuntungan terhadap rakyat.
Koordinator Prodi (Korprodi) Ilmu Politik Unesa